1. Definisi
Penyakit refluks gastroesofageal (gastroesophageal reflux disease/GERD) adalah suatu keadaan patologis sebagai akibat refluks kandungan lambung ke dalam esophagus, dengan berbagai gejala yang timbul akibat keterlibatan esofagus, faring, laring dan saluran napas.1
Definisi lain menjelaskan bahwa refluks gastroesofagus adalah peristiwa masuknya isi lambung ke dalam esofagus yang terjadi secara intermiten pada setiap orang, terutama setelah makan. Refluks yang terjadi tanpa menimbulkan gejala dan perubahan histologik mukosa esofagus, disebut refluks gastroesofagus fisiologik. Bila refluks terjadi berulang-ulang, sehingga timbul gejala dan komplikasi, disebut refluks gastroesofagus patologik atau penyakit refluks gastroesofagus, suatu istilah yang meliputi refluks esofagitis dan refluks simtomatis. Pada refluks esofagitis terjadi perubahan histologik, sedangkan refluks simtomatis menimbulkan gejala tanpa perubahan histologik dinding esofagus. 2,3
2. Prevalensi
Penyakit ini umum ditemukan pada populasi di negara-negara Barat, namun dilaporkan relatif rendah insidennya di negara-negara Asia-Afrika. Di Amerika dilaporkan bahwa satu dari lima orang dewasa mengalami gejala refluks (heartburn dan/atau regurgitasi) sekali dalam seminggu serta lebih dari 40% mengalami gejala tersebut sekali dalam sebulan.1 Survey lain yang dilakukan National Heartburn Alliance pada tahun 2000 menyatakan bahwa 60 juta penduduk Amerika mengalami gejala GERD setidaknya sekali dalam sebulan dan sekitar 25 juta orang dewasa mengalami gejala harian GERD. Survey ini juga memperlihatkan bahwa 95% dari dari penduduk ini yang telah pernah merasakan gejala >1 tahun dan 54% telah pernah memiliki gejala lebih dari lima tahun. Empat puluh persen dari penduduk ini pula dilaporkan mengeluhkan gejala 2-4 kali seminggu dan sekitar 33% dengan gejala lima kali seminggu atau lebih.4
Namun dewasa ini prevalensi GERD di Asia meningkat. Di Hongkong meningkat dari 29,8% (2002) menjadi 35% (2003). Data dari RSCM menunjukkan peningkatan signifikan dari 6% menjadi 26% dalam kurun waktu 5 tahun. Salah satu kendala dalam GERD adalah sulitnya diagnosa, terutama dalam mendeskripsikan gejala khasnya yaitu heartburn, berupa rasa panas terbakar yang menjalar dari lambung atau dada bagian bawah menuju ke leher. Hal ini membuat lebih dari 50% pasien GERD berkonsultasi ke dokter setelah mengalami gejala selama 6 bulan. Asian Burning Desire Survey (2006) membuktikan bahwa pemahaman tentang GERD pada populasi di Indonesia adalah yang terendah di Asia Pasifik, hanya sekitar 1%, sedangkan di Taiwan mencapai 81% dan Hongkong 66%.5
3. Faktor penyebab
Penyakit refluks gastroesofageal bersifat mulitfaktorial. Esofagitis dapat terjadi sebagai akibat dari refluks gastroesofageal apabila: 1) terjadi kontak dalam waktu yang cukup lama antara bahan refluksat dengan mukosa esofagus, 2) terjadi penurunan resitensi jaringan mukosa esofagus, walaupun waktu kontak antara bahan refluksat dengan esofagus tidak cukup lama.1
Esofagus dang aster dipisahkan oleh suatu zona tekanan tinggi (high pressure zone) yang dihasilkan oleh kontraksi lower esophageal sphincter (LES). Pada individu normal, pemisah ini akan dipertahankan kecuali pada saat terjadinya aliran antegrad yang terjadi pada saat menelan, atau aliran retrograd yang terjadi pada saat sendawa atau muntah. Aliran balik dari gaster ke esofagus melalui LES hanya terjadi apabila tonus LES tidak ada atau sangat rendah (<3 mmHg). Refluks gastroesofageal pada pasien GERD terjadi melalui tiga mekanisme: 1) refluks spontan pada saat relaksasi LES yang tidak adekuat, 2) aliran retrograd yang mendahului kembalinya tonus setelah menelan, 3) meningkatnya tekanan intra abdomen.1
Faktor resiko yang mempengaruhi penyakit refluks gastroesofageal ditinjau dari teori Blum dibedakan menjadi empat faktor, yaitu: faktor biologi, faktor lingkungan, faktor pelayanan kesehatan dan faktor perilaku.
Tabel 1. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya penyakit refluks gastroesofagus
Faktor biologi | Faktor lingkungan | Faktor perilaku | Faktor pelayanan kesehatan |
§ Usia (lebih dari 40 tahun) § Riwayat penyakit saluran pencernaan atas dan IBS (irritable bowel syndrome) § Riwayat menderita penyakit hiatal hernia § Riwayat menderita wheezing persisten, asthma, dan hiperespon saluran napas. | § Lingkungan dengan sanitasi yang kurang baik | § Obesitas § Merokok § Konsumsi alkohol yang berlebihan dan minuman berkarbonasi § Makan makanan rendah serat dan tinggi lemak § Olah raga yang terlalu berat § Kurangnya pengetahuan tentang gejala dini GERD § Keterlambatan berobat § Kurangnya kesadaran melakukan pemeriksaan kesehatan secara rutin | § Minimnya pengetahuan petugas kesehatan tentang GERD § Kurangnya sarana dan prasarana kesehatan yang menunjang penegakan diagnosis § Keterlambatan penegakan diagnosis dan terapi § Kekeliruan dalam diagnosis dan terapi § Kurangnya program kesehatan yang adekuat untuk skrining awal penyakit |
4. Faktor yang paling berperan
Faktor yang paling berperan mempengaruhi terjadinya GERD adalah faktor perilaku.1,4
5. Akar permasalahan
Obesitas, kebiasaan makan makanan tinggi lemak-rendah serat, konsumsi alkohol dan minuman berkarbonasi serta kurangnya pengetahuan penduduk tentang gejala awal GERD .1,4
6. Akar masalah utama
Faktor perilaku yang menjadi masalah utama dalam kasus GERD adalah kebiasaan makan makanan tinggi lemak-rendah serat dan konsumsi alkohol-minuman berkarbonasi yang masif. Hal ini dikarenakan kurangnya pengetahuan individu mengenai gaya hidup sehat dan gejala dini dari GERD sehingga penderita terlambat untuk berobat. Oleh karena itu, perlu dirancang program kegiatan yang dapat menyelesaikan akar masalah tersebut dengan meningkatkan pengetahuan individu tentang gaya hidup dan GERD.1,4
7. Rencana program kegiatan
Pilihan program untuk meningkatkan pengetahuan individu tentang gaya hidup sehat dan GERD lain:
a. Menggalakkan seminar atau diskusi interaktif yang membahas informasi yang lengkap mengenai GERD serta upaya-upaya pencegahannya.
b. Membuat poster ataupun leaflet berisi informasi terkini mengenai gaya hidup sehat.
c. Meningkatkan pelatihan dan workshop bagi tenaga kesehatan pada layanan primer mengenai penegakan diangnosis dan penanganan GERD serta berupaya memberikan teladan hidup sehat bagi masyarakat di lingkungannya.
d. Mengadakan kegiatan yang bersifat mengajak masyarakat untuk memulai gaya hidup sehat seperti senam massal, jalan sehat, secara rutin bekerjasama dengan dinas kesehatan, petugas kesehatan dan pejabat terkait.
Alternatif terbaik dalam mengatasi kasus GERD adalah dengan menggalakkan seminar atau diskusi interaktif yang membahas informasi yang lengkap mengenai GERD serta upaya-upaya pencegahannya. Umumnya, kebiasaan makan makanan tinggi lemak-rendah serat dan konsumsi alkohol-minuman berkarbonasi secara berlebihan diakibatkan minimnya pengetahuan masyarakat dan kurangnya kesadaran untuk melakukan pencegahan. Dengan kegiatan ini diharapkan dapat menurunkan prevalensi penyakit refluks gastroesofageal pada masa mendatang.
DAFTAR PUSTAKA
1. Makmun, D. Penyakit Refluks Gastroesofageal. Dalam Sudowo AW, Setiyohadi B, Alwi I, K Marcellus S, Setiati S (ed). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi keempat. Jakarta: Pusat Penerbita Dept. IPD FKUI. 2006. p.317-321.
2. Mariana Y. Penyakit Refluks Gastroesofagus. Dalam Efiaty AS, Nurbaiti I (ed). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga-Hidung-Tenggorok Kepala Leher. Edisi kelima. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2001. p. 252-5.
3. Putnam, PE. Gastroesophageal Reflux. In : Bluestone CD, et al. Pediatric Otolaryngology, Vol.2, 3rd ed., Philadelphia : WB Saunders Co, 1996. 1144-56.