PENDAHULUAN
1. Pengeritan dan Prevalensi
Intoleransi makanan atau hipersensitivitas makanan non-alergi merupakan istilah yang digunakan secara luas untuk berbagai macam respon tubuh terhadap makanan tertentu dikarenakan tubuh tidak mampu mencerna makanan tersebut atau makanan tersebut bersifat iritan bagi tubuh. Intoleransi makanan dapat hadir dengan gejala pada kulit,
saluran pernafasan,
saluran pencernaan yang timbul secara bersamaan atau sendiri-sendiri.
Pada kulit mungkin termasuk ruam kulit, urtikaria, angioedema, dermatitis, dan eksim. Gejala saluran pernafasan dapat berupa sinusitis, faringitis, asma dan batuk tidak berdahak. Gejala pada selauran perncernaan termasuk stomatitis, kram perut, mual, kembung, diare, sembelit, sindrom iritasi usus besar dan mungkin termasuk anafilaksis. Sejauh ini belum ada data epidemologis penduduk mengenai intoleransi makanan di Indonesia. Perkiraan prevalensi intoleransi makanan pada suatu populasi adalah 2% sampai lebih dari 20%. Berdasarkan studi double-blind dan placebo-controlled food challenges yang dilakukan pada penduduk Belanda dan Inggris. Angka prevalensi yang didapat mengenai intoleransi makanan 12% sampai 19% namun setelah dikonfirmasi kembali angka yang didapat hanya mencapai 0,8% sampai 2,4%. Untuk toleransi terhadap makanan aditif prevalensi bervariasi antara 0,01-0,23%. Angka rata-rata prevealensi intoleransi makanan yang sama ditemukan juga di Norwegia.
2. Faktor-Faktor Penyebab
Faktor-faktor yang dapat menyebabkan intoleransi makanan adalah faktor metabolisme nutrien yang terganggu sejak lahir atau didapat, bahan kimia dengan berat molekul rendah yang dapat menimbulkan respon tubuh yang abnormal pada orang-orang yang peka, abnormalitas saluran pencernaan sehingga menyebabkan malabsorpsi, respon sistem imun non-IgE terhadap bahan makanan, toksin yang terdapat dalam makanan yang dapat menimbulakan efek pada tubuh tanpa melalui mekanisme sistem imun, dan faktor psikologis seseorang terhadap suatu makanan.
Faktor resiko yang mempengaruhi terjadinya intoleransi makanan ditinjau dari teori Blum dibedakan menjadi empat faktor, yaitu: faktor biologi, faktor lingkungan, faktor pelayanan kesehatan, dan faktor perilaku.
Tabel faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya intoleransi makanan
Faktor biologi | Faktor lingkungan | Faktor perilaku | Faktor pelayanan kesehatan |
- Kelainan genetik seseorang terhadap jenis makanan tertentu - Kondisi sistem imun seseorang | - Lingkungan yang terlalu stres - Akses yang sulit untuk mendapatkan makanan yang bervariatif | - Kebiasaan mengkonsumsi makanan sejenis dan kurang variatif - Perilaku sering mengkonsumsi alkohol - Makan makanan yang mengandung bahan pengawet - Pengetahun yang masih rendah mengenai pemilihan dan pengolah makan yang baik | - Minimnya pengetahuan petugas kesehatan - Kurangnya sarana dan prasarana yang memadai - Keterlambatan diagnosis dan terapi - Kekeliruan dalam diagnosis dan terapi - Tidak adanya program yang adekuat dalam proses skrining awal |
3. Faktor yang Paling Berperan
Faktor yang sangat berperan mempengaruhi terjadinya intoleransi makanan adalah faktor pelayanan kesehatan.
4. Akar-akar Permasalahan
Keterlambatan petugas kesehatan dalam menegakkan diagnosis secara tepat dan memberikan terapi yang adekuat serta cara-cara pencegahan yang baik terhadap penderita.
5. Akar Masalah Utama
Faktor pelayanan kesehatan yang menjadi masalah utama dalam kasus intoleransi makanan adalah keterlambatan dalam mendiagnosis, memberikan terapi dan cara-cara pencegahan yang baik terhadap penderita. Hal ini disebabkan kurangnya pengetahuan petugas kesehatan sehingga pasien yang datang mengalami keterlambatan dalam penegakan diagnosis secara tepat maupun pemberian terapi yang adekuat. Bahkan tidak jarang pasien datang kembali dalam kondisi yang lebih buruk dari sebelumnya atau telah mengalami komplikasi. Oleh karena itu, perlu dilakukan kegiatan-kegiatan yang dapat menyelesaikan akar masalah tersebut dengan jalan meningkatkan pengetahuan petugas kesehatan dan juga masyarakat mengenai intoleransi makanan.
6. Rencana Program Kegiatan
Pilihan program untuk meningkatkan pengetahuan petugas kesehatan, antara lain:
1. Memberikan materi kuliah atau seminar bagi petugas kesehatan mengenai cara penegakan diagnosis, penatalaksanaan dan pencegahan intoleransi makanan.
2. Membuat leaflet-leaflet menarik yang berisi informasi terbaru mengenai intoleransi makanan.
3. Memberi saran kepada dinas kesehatan setempat untuk mengadakan materi kuliah atau seminar, dan pelatihan bagi petugas kesehatan sebagai salah satu program kerja.
Dari program kerja di atas, alternatif terbaik dalam mengatasi kasus intoleransi makanan adalah dengan memberikan materi kuliah atau seminar bagi petugas kesehatan mengenai cara penegakan diagnosis, penatalaksanaan dan pencegahan intoleransi makanan. Umumnya keterlambatan diagnosis, terapi, dan kembalinya penderita dengan keluhan yang sama ke pelayanan kesehatan terjadi karena minimnya pengetahuan petugas kesehatan tentang intoleransi makanan dan kurangnya fasilitas sarana dan prasarana kesehatan yang memadai.