Terapi nutrisi adalah bagian dari terapi yang amat penting pada setiap  pasien rawat inap di rumah sakit. Tetapi pada kenyataannya terjadi fakta  bahwa angka prevalensi malnutrisi di rumah sakit cukup tinggi dengan  segala dampak buruknya bagi pasien. 
Dari hasil berbagai penelitian yang  dilakukan di negara maju maupun berkembang, ditemukan angka prevalensi  malnutrisi di rumah sakit cukup tinggi. Di Belanda, prevalensi  malnutrisi di rumah sakit 40%, Swedia 17%-47%, Denmark 28%, di negara  lain seperti Amerika dan Inggris angkanya antara 40%-50%.(1) Studi di  Asia Tenggara seperti di Malaysia mengungkapkan bahwa 71,4 % pasien  mengalami hipoalbuminemia selama periode rawat inap.(2) Di rumah sakit  Vietnam periode 2002-2004, Pham et al menemukan bahwa 56% pasien  prabedah elektif mengalami malnutrisi,(3) meskipun tidak ada data  seberapa banyak yang mengalami perburukan status nutrisi pascabedah.  Sedangkan studi di Indonesia yang dilakukan di Jakarta, menghasilkan  data bahwa dari sekitar 20-60% pasien yang telah menyandang status  malnutrisi, 69%-nya mengalami penurunan status gizi selama rawat inap di  rumah sakit.(1) Keadaan ini menunjukkan bahwa malnutrisi pada pasien  justru terjadi selama periode rawat inap serta berkaitan dengan penyakit  yang mendasari yang mencetuskan anoreksia, disfagia, gangguan  pencernaan, dan hiperkatabolik; diperparah peningkatan akan kebutuhan  zat gizi utama seperti protein, lemak, vitamin, mineral, dan air  (khususnya pada pasien trauma/pascabedah dimana stres metabolik  meningkat). Yang pada akhirnya membuat derajat malnutrisi berlanjut  sehingga terjadi perlamaan periode rawat inap (dan peningkatan biaya  inap) yang secara “lingkaran setan” memperburuk malnutrisi. Belum lagi,  obat-obatan tertentu yang diberikan dapat mengurangi kepekaan indra  pengecap; alhasil, nafsu makan menurun sehingga intake nutrisi kian  sedikit. Banyak studi yang menunjukkan malnutrisi pada pasien  berhubungan dengan lama rawat, proses penyembuhan, dan peningkatan angka  kesakitan dan kematian.(4)
Malnutrisi yang terjadi pada pasien  di rumah sakit sebetulnya dapat ditanggulangi bahkan dihindari dengan  dukungan nutrisi optimal dan tepat. Hal ini bisa diwujudkan bila pada  pasien tersebut sejak awal masuk rumah sakit diberlakukan penilaian  status gizi terhadapnya, dan status gizi ini terus dipantau. Beberapa  parameter yang amat berguna untuk menilai status gizi mencakup berat dan  tinggi badan, tebal lemak bawah kulit triseps, lingkar lengan atas,  serta hasil laboratoris; hitung limfosit, hematokrit, albumin dan  prealbumin serum, transferin, kreatinin, dan balans nitrogen.(4)(5)(6)  Hasil penilaian ini bermanfaat untuk mengidentifikasi individu yang  secara emergensi memerlukan dukungan zat gizi, mencegah agar seseorang  yang status nutrisinya baik tidak menderita permasalahan gizi, serta  menghindari komplikasi lebih lanjut jika seseorang telah menderita  masalah gizi. Namun, penilaian status gizi (yang benar) di rumah sakit  jarang dilakukan dan hal ini ditenggarai oleh tingkat jam terbang tenaga  medis yang rendah.(7) Studi mengenai pengetahuan dan perilaku tenaga  medis senior di beberapa instansi medis Taiwan (Hu SP dkk, 1997)  menunjukkan bahwa kebanyakan tenaga medis tidak berkompetensi dalam  asuhan nutrisi.(8) Masalah ini tidak terlepas dari kurangnya komunikasi  antar tanaga medis (dokter, perawat, dan ahli gizi), ketidakmampuan  dalam mengetahui manifestasi malnutrisi (yang disalahartikan sebagai  manifestasi penyakit yang mendasari), ketidakjelasan tanggung jawab  perawatan, kesimpang-siuran waktu pemeriksaan medis yang menyebabkan  kelalaian jadwal makan pasien, serta ketidak-tersediaan alat uji  laboratoris untuk menilai status gizi.      
Para tenaga medis  juga tidak jarang menunda bahkan melupakan manfaat terapi nutrisi pada  pasien-pasiennya, dan lebih menitikberatkan terapi pada farmakoterapi  dan tindakan medis lainnya. Padahal sekalipun tenaga medis (dokter atau  perawat) tidak “lupa”, belum tentu nutrisi secara enteral dan/atau  parenteral yang diberikan adekuat bagi pasien dari segi jumlah dan  komposisinya. Dan walaupun pasien mampu dan mau makan, maka timbul  pertanyaan apakah komposisi bahan olahan (yang diolah) adekuat untuk  kebutuhan nutrisi pasien?. Ditambah lagi pengaruh warna, aroma, tekstur,  dan rasa makanan yang jarang menggugah selera sehingga sebagian besar  pasien tidak menghabiskan makanan yang disajikan.(9) Dampak dari  ketiadaan perencanaan asuhan nutrisi yang benar dari segala aspeknya  (unit pengelola dan sistem kinerja), akan terus merembah hingga terus  mempengaruhi peningkatan prevalensi malnutrisi.
Referensi:
                                  (1)     (1) Lipoeto, N.I., N.Megasari, dan A.E.Putra. 2006.Malnutrisi dan Asupan Kalori Pasien Rawat Inap di Rumah Sakit.Majalah Kedokteran Indonesia, vol. 56 No.11, hal: 3.
(2)     (2) Shahar, Suzana, Fun, W.S., dan Chik, W.C. A Prospective Study on Malnutrition and Duration of Hospitalisation among Hospitalised Geriatric Patients Admitted to Surgical and Medical Wards of Hospital Universiti Kebangsaan Malaysia. Mal J Nutr 8(1): 55-62, 2002
(3)     (3) Sauer, Abby.Hospital Malnutrition: Assessment and Intervention Methods, (online), (http://anhi.org/abbottnutritionrd/pdfs/hospital%20malnutrition.pdf,diakses 7 Agustus 2010).
(4)     (4) Sukrisman, L. dan Syam A.F.2007.Current Diagnosis and Treatment in Internal Medicine 2007.Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI.Hal.85-7
(5)     (5) Shenton, A, Wells, F.E., dan Addison, G.M.1983.Prealbumin As An Indicator of Marginal Malnutrition in Treated Phenylketonuria: A Preliminary Report. Vol.6, Supplement 2/June: 109-10.
(6)     (6) Weinsier, RL., Hunker, EM., Krumdieck, CL., dan Butterworth, CE.1979.Hospital malnutrition. A prospective evaluation of general medical patients during the course of hospitalization. American Journal of Clinical Nutrition, Vol 32, 418-426.
(7)     (7) Kelly, IE, Tessier S, Cahill A, Morris SE, Crumley A, McLaughlin D, et al Still hungry in hospital: identifying malnutrition in acute hospital admissions. Q J Med Vol 93, 2000: 93-8.
(8)     (8) Hu SP, Liu JF, Shieh MJ. Nutrition knowledge, attitudes and practices among senior medical students in Taiwan. J Am Coll Nutr. 1997 Oct;16(5):435-8.
(9)     (9) Nurhikmah, Ika.2008.Tingkat Konsumsi Energi dan Protein Pasien Diabetes Mellitus Rawat Inap Terhadap Makanan yang Disajikan di Bagian Penyakit Dalam RSUP Fatmawati Jakarta,(Online),(http:// iirc.ipb.ac.id/jspui/bitstream/ 123456789/ 1986/ 1/A08inu_abstract.pdf, diakses 7 Agustus 2010).